Kelompok ini dibentuk pada tahun
1969, sebagai kelanjutan dari kelompok “Koes Bersaudara”. Grup yang berasal dari Kelurahan Sendangharjo,
Tuban,
Jawa Timur ini merupakan alumnus SMK Negeri 1 Tuban dan pada akhirnya menjadi pelopor musik
pop dan rock 'n roll, bahkan pernah dipenjara karena musiknya yang dianggap mewakili aliran
politik kapitalis. Di saat itu sedang garang-garangnya gerakan anti kapitalis di
Indonesia
.
- Era Orde Lama
Pada Kamis
1 Juli 1965,
sepasukan tentara dari Komando Operasi Tertinggi (KOTI) menangkap kakak
beradik Tony, Yon, dan Yok Koeswoyo dan mengurung mereka di
penjara Glodok,
kemudian Nomo Koeswoyo atas kesadaran sendiri, datang menyusul, perlu
dicatat Nomo Koeswoyo senang sekali berkelana ke banyak daerah. Adik Alm
Tony Koeswoyo itu rupanya memilih "mangan ora mangan kumpul" ketimbang
berpisah dari saudara-saudara tercinta. Adapun kesalahan mereka adalah
karena selalu memainkan lagu - lagu
The Beatles
yang dianggap meracuni jiwa generasi muda saat itu. Sebuah tuduhan
tanpa dasar hukum dan cenderung mengada ada, mereka dianggap memainkan
musik "ngak ngek ngok" istilah Pemerintahan berkuasa saat itu, musik yg
cenderung imperialisme pro barat. Dari penjara justru menghasilkan
lagu-lagu yang sampai saat sekarang tetap menggetarkan, "Didalam Bui",
"jadikan aku dombamu", "to the so called the guilties", dan "balada
kamar 15".
29 September 1965,
sehari sebelum meletus G 30 S-PKI, mereka dibebaskan tanpa alasan yang
jelas.belakangan setelah Peristiwa itu berlalu,Koes Bersaudara yang
masih hidup dan menginjak usia tua melakukan testimoni di depan pemirsa
acara talkshow KICK ANDY (Metro TV)pada akhir 2008 bahwa di balik
penangkapan mereka sebenarnya pemerintahan Soekarno menugaskan mereka
dalam sebuah operasi Kontra Intelejen guna mendukung gerakan Ganyang
Malaysia.
-Dari Koes Bersaudara menjadi Koes Plus
Dari kelompok Koes Bersaudara ini lahir lagu-lagu yang sangat populer
seperti “Bis Sekolah”,“ Di Dalam Bui”, “Telaga Sunyi”, “Laguku Sendiri”
dan masih banyak lagi. Satu anggota Koes Bersaudara, Nomo Koeswoyo
keluar dan digantikan Murry sebagai drummer. Walaupun penggantian
ini awalnya menimbulkan masalah dalam diri salah satu personalnya yakni
Yok yang keberatan dengan orang luar. Nama Bersaudara seterusnya
diganti dengan Plus, artinya plus orang luar: Murry.
Sebenarnya lagu-lagu Koes Bersaudara lebih bagus dari segi
harmonisasi ( seperti lagu “Telaga Sunyi”, “Dewi Rindu” atau “Bis
Sekolah”) dibanding lagu-lagu Koes Plus. Saat itu Nomo, selain bermusik
juga mempunya pekerjaan sampingan. Sementara Tonny menghendaki totalitas
dalam bermusik yang membuat Nomo harus memilih. Akhirnya Koes
Bersaudara harus berubah. Kelompok Koes Plus dimotori oleh almarhum
Tonny Koeswoyo (anggota tertua dari keluarga Koeswoyo). Koes Plus dan
Koes Bersaudara harus dicatat sebagai pelopor musik pop di Indonesia.
Sulit dibayangkan sejarah musik pop kita tanpa kehadiran Koes Bersaudara
dan Koes Plus.
Tradisi membawakan lagu ciptaan sendiri adalah tradisi yang
diciptakan Koes Bersaudara. Kemudian tradisi ini dilanjutkan Koes Plus
dengan album serial volume 1, 2 dan seterusnya. Begitu dibentuk, Koes Plus tidak langsung mendapat simpati dari pecinta musik Indonesia.
Piringan hitam album pertamanya sempat ditolak beberapa
toko kaset. Mereka bahkan mentertawakan lagu “Kelelawar” yang sebenarnya asyik itu.
Kemudian Murry sempat ngambek dan pergi ke
Jember sambil membagi-bagikan piringan hitam albumnya secara
gratis pada teman-temannya. Dia bekerja di pabrik
gula sekalian main band bersama
Gombloh dalam grup musik
Lemon Trees. Tonny yang kemudian menyusul Murry untuk diajak kembali ke
Jakarta. Baru setelah lagu “Kelelawar” diputar di
RRI
orang lalu mencari-cari album pertama Koes Plus. Beberapa waktu
kemudian lewat lagu-lagunya “Derita”, “Kembali ke Jakarta”, “Malam Ini”,
“Bunga di Tepi Jalan” hingga lagu “Cinta Buta”, Koes Plus mendominasi
musik Indonesia waktu itu.
Kiblat Musik Pop Indonesia
Dengan adanya tuntutan dari produser perusahaan rekaman maka group-group lain yang “seangkatan” seperti
Favourites,
Panbers,
Mercy's,
D'Lloyd
menjadikan Koes Plus sebagai “kiblat”, sehingga group-group ini selalu
meniru apa yang dilakukan Koes Plus, pembuatan album di luar pop
Indonesia, seperti pop
melayu dan pop
jawa menjadi trend group-group lain setelah Koes Plus mengawalinya.
"Seandainya kelompok ini lahir di Inggris atau AS bukan tidak mungkin akan menggeser popularitas Beatles"
[rujukan?]
“Lagu Nusantara I” (Volume 5), “Oh Kasihku” (Volume 6), “Mari-Mari”
(Volume 7), “Diana” dan “Kolam Susu” ( Volume 8) merajai musik pop waktu
itu. Puncak kejayaan Koes Plus terjadi ketika mereka mengeluarkan album
Volume 9 dengan lagu yang sangat terkenal “Muda-Mudi” (yang diciptakan
Koeswoyo, bapak dari Tonny, Yon dan Yok). Disusul lagu “Bujangan” dan
“Kapan-Kapan” dari volume 10. Masih berlanjut dengan lagu “Nusantara V”
dari album Volume 11 dan “Cinta Buta” dari album Volume 12.
Bersamaan dengan itu Koes Plus juga mengeluarkan album pop Jawa dengan lagu yang dikenal dari tukang
becak,
ibu-ibu rumah tangga, hinga anak-anak muda, yaitu “Tul Jaenak” dan “Ojo
Nelongso”. Belum lagi lagu mereka yang berirama melayu seperti
“Mengapa”, “Cinta Mulia” dan lagu keroncongnya yang berjudul “Penyanyi
Tua”. Sayang sekali di setiap album yang mereka keluarkan tidak ada
dokumentasi bulan dan tahun, sehingga susah melacak album tertentu
dikeluarkan
tahun
berapa. Bahkan tidak ada juga kata-kata pengantar lainnya. Album mereka
baru direkam secara teratur mulai volume VIII setelah ditandatangani
kontrak dengan Remaco. Sebelumnya perusahaan yang merekam album-album mereka adalah “Dimita”.
Pada tahun
1972-
1976 udara Indonesia benar-benar dipenuhi oleh lagu-lagu Koes Plus. Baik
radio
atau orang pesta selalu mengumandangkan lagu Koes Plus. Barangkali
tidak ada orang-orang Indonesia yang waktu itu masih berusia remaja yang
tidak mengenal Koes Plus. Kapan Koes Plus mengeluarkan album baru
selalu ditunggu-tunggu pecinta Koes Plus dan masyarakat umum.
Tahun 1972 Koes Plus sempat menjadi band terbaik dalam Jambore Band di
Senayan. Semua peserta menyanyikan lagu Barat
berbahasa Inggris. Hanya Koes Plus yang berani tampil beda dengan menyanyikan lagu “Derita” dan “Manis dan Sayang”.
- Rekor Album
Dari informasi yang dikirim seorang penggemar Koes Plus, ternyata prestasi Koes Plus memang luar biasa. Pada tahun
1974 Koes Plus mengeluarkan 22 album, yaitu terdiri dari album lagu-lagu baru dan album-album "the best" termasuk album-album
instrumentalia,
yang dibuat dari instrument asli Koes Plus atau rekaman "master" yang
kemudian diisi oleh permainan saxophone Albert Sumlang, seorang pemain
dari group the Mercy's. Jadi rata-rata mereka mengeluarkan 2 album dalam
satu bulan. Tahun 1975 ada 6 album. Kemudian tahun 1976 mereka
mengeluarkan 10 album. Mungkin rekor ini pantas dicatat di dalam
Guinness Book of Record.
Dan hebatnya, lagu-lagu mereka bukan lagu ‘asal jadi’, tetapi memang
hampir semua enak didengar. Bukti ini merupakan jawaban yang mujarab
karena banyak yang mengkritik lagu-lagu Koes Plus cuma mengandalkan
“tiga jurus”: kunci C-F-G.
Karena banyak jasanya dalam pengembangan musik, masyarakat memberikan
tanda penghargaan terhadap prestasinya menjadi kelompok legendaris
dengan diberikannya tanda penghargaan melalui "Legend Basf Award, tahun
1992.Prestasi
yang dimiliki disamping masa pengabdiannya dibidang seni cukup lama,
produk hasil ciptaan lagunya pun juga memadai karena sejak tahun
1960
sampai sekarang berhasil menciptakan 953 lagu yang terhimpun dalam 89
album. Prestasi hasil ciptaan lagu untuk periode kelompok Koes
Bersaudara sebanyak 203 lagu (dalam 17 album),sedang untuk periode
kelompok Koes Plus sebanyak 750 lagu dalam 72 album (
Kompas,
13 September 2001).
Salah satu anggota Koes Plus mengatakan bahwa mereka dibayar sangat
mahal pada masa jayanya. Yon mengungkapkan bahwa pada tahun 1975 mereka
manggung di
Semarang. "Waktu itu pada tahun 1975, kami telah dibayar Rp 3 juta saat pentas di Semarang," kenang dia. Padahal, saat itu harga sebuah
mobil Corona tahun 1975 kira-kira Rp 3,750 juta. Bila dikurs saat ini bayaran tersebut kurang lebih sama dengan Rp 150 juta.(
Suara Merdeka,
4 Mei 2001)
Waktu itu, Rp 3,5 juta sangat tinggi, mengingat mobil sedan baru
Rp 3 juta. Jika dikurskan dengan nilai uang sekarang, jumlah itu sama
dengan Rp 200 juta sampai Rp 300 juta. Jumlah penonton melimpah ruah
tidak seperti sekarang, kenang Yon. (Suara Merdeka,
23 Oktober 2001).
Setelah itu popularitas Koes Plus mulai redup. Mungkin karena generasi sudah berganti dan selera musiknya berubah. Koes Plus vakum
sementara dan Nomo masuk lagi menggantikan Murry, sekitar akhir
1976-an. Koes Bersaudara terbentuk lagi dan langsung ngetop dengan
lagunya “Kembali” yang keluar tahun
1977. Murry bersama groupnya Murry's Group juga cukup menggebrak dengan lagunya “Mamiku-papiku”. Tidak bertahan lama tahun
1978
kembali terbentuk Koes Plus. Lagu barunya, “Pilih Satu” juga langsung
populer. Setelah itu keluar lagu “Cinta”, dengan aransemen
orchestra,
yang benar-benar berbeda dengan lagu Koes Plus yang lain. Kemudian
populer juga album melayu mereka yang memuat lagu “Cubit-Cubitan” dan
“Panah Asmara”. Tetapi Koes Plus generasi ini tidak lagi sepopuler
sebelumnya. Walaupun, kalau disimak lagu-lagu yang lahir setelah 1978,
masih banyak lagu mereka yang bagus.
Nasib Koes Plus kini sangat tragis. Seperti kata Yon suatu ketika
bahwa Koes Plus hanya besar namanya tetapi tidak punya apa-apa. Ucapan
ini memang pas untuk mewakili keadaan personel Koes Plus. Mereka tidak
mendapatkan
uang
dari hasil penjualan kaset yang berisi lagu-lagu lama mereka. Tidak
seperti para penyanyi/pemusik masa kini yang gaya hidupnya “wah” karena
dari segi finansial pendapatannya sebagai penyanyi/pemusik cukup
terjamin. Begitu juga bekas group-group tersohor seperti
Beatles, atau
Led Zeppelin, mereka hidup dengan enak hanya dari royalti kaset/VCD/
CD/
DVD yang mereka hasilkan. Sampai anak-anak dan istri mereka pun menikmati kelimpahan finansial ini.
Koes Plus hanya dibayar sekali untuk setiap album yang dihasilkan. Tidak ada royalti, tidak ada tambahan fee untuk setiap CD/kaset yang terjual. Maka tidak heran ketika tahun
1992 Yon harus jualan
batu akik
untuk menghidupi rumah tangganya. Sementara kaset dan CD lagunya masih
laris terjual di Indonesia. Sekarang pun di usianya yang ke-63 Yon dan
kawan-kawan (Murry beberapa kali tidak tampil karena sakit) membawa nama
Koes Plus harus manggung untuk mendapatkan uang. Dengan sisa-sisa suara
dan kekuatannya mereka harus menjual suara dan tenaganya. Yon memang
tidak merasakan ini sebagai beban. Dia bersyukur lagunya masih dicintai
orang. Tetapi kita prihatin mendengar kabar seperti ini.